Bagaimana Membujuk Evangelis Kristen Untuk Peduli Perubahan Iklim

Oleh: Elaine Howard Ecklund & Christopher P. Scheitle
28 Januari 2018
Sumber: Nautilus

Read more: Bagaimana Membujuk Evangelis Kristen Untuk Peduli Perubahan Iklim

Tahun lalu termasuk tiga tahun terpanas yang pernah tercatat, 1,51 derajat Fahrenheit di atas rata-rata abad 20, lapor para ilmuwan dari NASA dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) baru-baru ini. Dua tahun sebelumnya lebih panas (2016 paling panas), tapi mereka digenjot oleh El Nino—2017 tidak. “Enam tahun terpanas dalam catatan untuk planet ini semuanya terjadi sejak 2010,” bunyi pernyataan NOAA di situsnya.

Bukan berarti kaum evangelis tidak peduli lingkungan. Mereka lebih peduli orang-orang.
(Wikicommons)

Di kalangan orang-orang yang mengakui bahwa penyebabnya adalah perubahan iklim, dan bahwa perbuatan manusia berperan besar, laporan semacam itu cenderung menunjuk jari pada pengingkar perubahan iklim dan kaum skeptis, yang dipandang sebagai penghambat kemajuan dalam keputusan kebijakan penting untuk memperbaiki iklim. Penunjukan jari kadang diarahkan pada orang-orang beragama, khususnya evangelis Kristen yang, entah karena teologi mereka atau konservatisme politik, mulai menyusun sebagian besar dari pengingkar dan kaum skeptis ini.

Tapi setelah lima tahun mensurvei, mewawancarai, dan menganalisa data tentang apa yang orang-orang beragama pikirkan mengenai sains, kita jadi mengerti bahwa pandangan kaum evangelis tentang perubahan iklim, dan lingkungan secara lebih luas, lebih rumit daripada yang diduga oleh sebagian pihak.

Meski survei kami terhadap lebih dari 10.000 warga Amerika menemukan hanya 26% evangelis Kristen (dibanding 33% dari total populasi AS) sangat tertarik pada kepedulian lingkungan dan hanya 29% (dibanding hampir 45% umat Katolik dan 48% umat Yahudi) mengakui perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, wawancara kami terhadap lebih dari 300 orang menyingkap kisah yang lebih bernuansa: kaum beragama, khususnya evangelis Kristen, menunjukkan lebih banyak perhatian lingkungan ketika kaitannya dengan kesehatan dan perkembangan manusia diperjelas.

Berikut, contohnya, adalah apa yang dikatakan seorang pendeta pemuda gereja mengenai kepedulian lingkungan: “Jika punya kesempatan, kami pasti membantu merawat planet yang sudah dikaruniakan pada kita ini. Meski demikian, saya juga percaya bahwa nilai kehidupan manusia lebih tinggi daripada nilai seekor paus, atau spesies kera.”

Bukan berarti para evangelis tidak peduli lingkungan. Hanya saja mereka lebih peduli manusia. Beberapa pegiat lingkungan menghabiskan tenaga dengan mencoba meyakinkan orang lain akan pentingnya melestarikan ruang-ruang hijau dan jalan-jalan air. Ini penting. Tapi kami pikir sudutpandang berbeda dan lebih efektif adalah mengalihkan pembicaraan tentang kepedulian lingkungan ke arah kepedulian pada masyarakat, keadilan sosial, dan perkembangan manusia, ketimbang demi lingkungan itu sendiri.

Para ilmuwan sebaiknya mendengarkan penelitian ini. Dan mereka perlu memastikan kaum beragama—khususnya evangelis Kristen—mengerti bahwa kepedulian pada lingkungan adalah kepedulian pada masyarakat. Ini terutama penting untuk anggota jemaat dengan sumberdaya ekonomi rendah, yang kemungkinan besar menganggap kebutuhan-kebutuhan lain lebih mendesak daripada isu lingkungan, tapi juga kemungkinan besar terletak di tempat-tempat yang terpukul paling keras oleh kekuatan degradasi lingkungan, misalnya kualitas air yang jelek.

Perubahan iklim adalah permasalahan global. Barangkali lebih banyak orang Amerika akan sepakat tentang cara menyelesaikannya jika para ilmuwan membingkai tantangan ini sebagai tantangan keagamaan di samping tantangan politik. Seorang dokter yang kami ajak bicara, dan yang mengidentifikasi diri sebagai evangelis Kristen, mengaitkan kepedulian pada lingkungan dan kepedulian pada manusia dalam bahasa yang serupa: “Di seluruh dunia, kaum miskin seringkali menjadi korban degradasi lingkungan. Jadi salah satu hal terpenting yang Alkitab ajarkan pada kita adalah bahwa yang paling Tuhan pedulikan adalah kaum miskin. Jadi kalau sampai degradasi lingkungan merugikan kaum miskin dan membuat situasi mereka lebih buruk lagi, maka penting sekali umat Kristen ambil bagian.”

Penulis

Elaine Howard Ecklund adalah sosiolog di Universitas Rice, di mana dia memimpin Religion and Public Life Program. Christopher P. Scheitle adalah sosiolog di Universitas West Virginia. Buku baru mereka adalah Religion Vs. Science: What Religious People Really Think, New York: Oxford University Press.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.