Mengapa Orang Berpendidikan Tinggi Kurang Tertarik Pada Teori Konspirasi

Oleh: Christian Jarrett
5 April 2017
Sumber: BPS Digest

Read more: Mengapa Orang Berpendidikan Tinggi Kurang Tertarik Pada Teori Konspirasi

Di era “berita palsu” dan naiknya populisme, menghadang teori-teori konspirasi menjadi fenomena harian. Sebagian orang biasanya tak menghiraukannya—mereka merasa teori-teori itu terlalu simplistik, berbias, atau dibuat-buat—tapi yang lain terkecoh. Dan jika seseorang percaya satu jenis teori konspirasi, dia biasanya percaya teori-teori konspirasi lain.

(Dengan lisensi via Gettyimages.co.uk)

Para psikolog sangat tertarik mengapa sebagian orang lebih cenderung untuk percaya teori konspirasi, apalagi karena konsekuensinya bisa berbahaya: sebagai contoh, dengan menghindarkan anak-anak mereka dari vaksinasi, para pemercaya konspirasi vaksinasi bisa membahayakan kesehatan khalayak luas; dalam kasus lain, kepercayaan akan adanya konspirasi terhadap kelompok etnis atau agama seseorang bisa menimbulkan radikalisme.

Salah satu perbedaan utama antara pemercaya konspirasi dan pengingkar konspirasi yang muncul dalam banyak studi adalah bahwa para pengingkar cenderung lebih berpendidikan tinggi. Untuk studi baru dalam Applied Cognitive Psychology, Jan-Willem Van Prooijen di VU Amsterdam telah melaksanakan dua survei besar guna menggali apa itu “lebih berpendidikan” yang seolah menyuntikkan kekebalan terhadap kepercayaan konspirasi.

Untuk survei pertama, Van Prooijen merekrut lebih dari 4000 pembaca sebuah jurnal sains populer di Belanda, dengan rata-rata usia 32. Dia menanyakan tingkat pendidikan formal dan kepercayaan mereka pada berbagai teori konspirasi terkenal, contohnya bahwa pendaratan bulan adalah hoaks; dia mengetes perasaan ketidakberdayaan mereka; perasaan subjektif mereka tentang kelas sosial mereka (mereka menempatkan posisi mereka pada jenjang sosial); dan kepercayaan mereka pada solusi-solusi sederhana, misalnya bahwa “kebanyakan masalah di masyarakat mudah untuk dipecahkan”.

Semakin tinggi pendidikan seorang peserta, semakin kecil kemungkinannya mereka mempromosikan teori-teori konspirasi. Yang penting, beberapa ukuran lain terhubung dengan pendidikan dan berkontribusi pada kaitan antara pendidikan dan kekurangpercayaan pada konspirasi: perasaan ketidakberdayaan yang lebih kecil (atau kemengendalian yang lebih besar), perasaan status sosial lebih tinggi, dan sikap skeptis terhadap solusi-solusi sederhana.

Survei kedua mirip, tapi kali ini Van Prooijen menguji hampir 1000 peserta, rata-rata usia 50, yang diseleksi untuk mewakili populasi Belanda. Juga, ada dua tahap: untuk tahap pertama, peserta menjawab pertanyaan tentang tingkat pendidikan mereka; perasaan kewenangan; kelas sosial subjektif; kepercayaan pada solusi sederhana; dan mereka mengambil beberapa tes dasar keterampilan berpikir analitis. Lalu dua pekan kemudian, peserta menilai kepercayaan mereka pada berbagai teori konspirasi.

Sekali lagi, pendidikan lebih tinggi terkait dengan kepercayaan yang lebih rendah terhadap teori-teori konspirasi, dan ini tampaknya dijelaskan sebagian oleh keadaan bahwa peserta lebih berpendidikan merasa memegang kendali lebih banyak, memiliki kepercayaan lebih sedikit pada solusi sederhana, dan memiliki keterampilan analisa lebih kuat. Kelas sosial subjektif tidak relevan dalam survei ini.

Secara keseluruhan, Van Prooijen menyebut hasil-hasil ini mengindikasikan bahwa “hubungan antara pendidikan dan kepercayaan pada teori konspirasi tidak bisa diciutkan ke mekanisme psikologis tunggal tapi merupakan produk kompleks saling mempengaruhi dari banyak proses psikologis”.

Sifat studinya menandakan kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa pendidikan atau faktor-faktor terkait yang dia ukur betul-betul menyebabkan kekurangpercayaan pada konspirasi. Tapi adalah masuk akal secara teoritis bahwa semua itu mungkin terlibat: sebagai contoh, pendidikan lebih tinggi biasanya meningkatkan rasa kemengendalian orang-orang atas hidup mereka (meski terdapat pengecualian, misalnya di kalangan orang-orang dari kelompok terpinggirkan), sementara perasaan ketidakberdayaan termasuk hal yang sering menarik orang-orang ke teori-teori konspirasi.

Yang penting, Van Prooijen menyebut temuan-temuannya membantu memahami kenapa pendidikan dapat turut menghasilkan “masyarakat yang kurang paranoid” bahkan ketika teori-teori konspirasi tidak ditentang secara eksplisit. “Dengan mengajari anak-anak keterampilan berpikir analitis di samping wawasan bahwa permasalahan masyarakat seringkali tidak memiliki solusi sederhana, dengan merangsang rasa kemengendalian, dan dengan memajukan perasaan bahwa seseorang adalah anggota masyarakat yang dihargai, pendidikan kemungkinan besar akan memasang perkakas mental yang dibutuhkan untuk mendekati teori-teori konspirasi absurd dengan dosis skeptisisme yang sehat.”

Rujukan

Why Education Predicts Decreased Belief in Conspiracy Theories

Penulis

Christian Jarrett (@Psych_Writer) adalah Redaktur BPS Research Digest.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.